Chat CS Gong Publishing Sekarang

Puisi dan Rasa Senang Menjadi Warga Negara

Share This Post

Pengantar untuk bedah buku “Apakah Negara?” karya Toto ST Radik di Rumah Dunia, Minggu 28 Agustus 2022.

Dalam kegelapan seorang lebih bisa tahu. (Kirdjomuljo)

In the work of art something other is brought together
with the thing that is made
. (Heidegger)

Saya sangat senang membaca puisi, mungkin sejak sekolah dasar kesenangan itu tumbuh, bemula dari puisi-puisi yang saya tidak mengerti tapi suka yang biasa dimuat di koran Galura dan majalah Manglé. Hingga kini saya masih membaca puisi-puisi. Dan membaca buku puisi Apakah Negara? karya Toto ST Radik saya pun senang.

Mungkin aneh rasanya rasa senang ini jika Toto ST Radik sendiri menginginkan pembaca merasa mual, muak, kesal, dan dengki terhadap segala situasi kita belakangan. Saya juga tidak tahu mengapa.

Esai ini akan berusaha menjelaskan rasa tersebut.

Pertama, puisi adalah jalan paling mudah bagi saya untuk memasuki latar negara saya sendiri: Indonesia, atau memasuki konsep macam “nusa”, “bangsa”, “tanah air”, “negara”. Paling tidak hingga kini saya masih dapat mengingat rasa itu dari pengalaman membaca puisi-puisi Piek Ardijanto Suprijadi yang optimistik: desa adalah harapan dan kota adalah wilayah berbahaya. Gadis desa, prenjak, perkutut, kutilang, petani, di puisi-pusi Piek adalah latar alam yang membuat saya merasa betah memiliki negeri, terlebih ketika saya ada di luar negeri.

Dalam puisi-puisi Toto ST Radik di kumpulan ini muncul latar-latar perkotaan dan karena itu saya bahagia karena teringat lagi puisi-puisi Piek yang pesimistik terhadap kota.

Saya pun dapat teringat lagi puisi-puisi Toto Sudarto Bachtiar yang berlatar kota yang saat membacanya di masa sekolah tidak merasakan sisi sedihnya (lebih tepat mungkin sisi allo agforeuei-nya), tetapi situasi kotanya itu. Jadi, ketika saya menemukan latar-latar kota di puisi Toto ST Radik saya bahagia karena merasa disambungkan lagi dengan puisi-puisi Toto Sudarto Bachtiar seperti yang legendaris itu “Gadis Peminta-Minta”.

Memang puisi-puisi yang saya suka itu ada juga sisi-sisi muramnya, Toto Sudarto Bachtiar apalagi, membikin pilu saja, tapi juga membebaskan, mengajari menerima hidup. Piek juga mengandung kemuraman, kemuraman yang agak tipis. Tapi tetap saja saya bahagia mengingat puisi satu ke puisi lainnya terus saja memberi saya perasaan akan kebangsaan saya, kenegaraan saya, dan dengan begitu saya juga makin mengenal diri sendiri serta orang lain.

Sebuah baris yang selalu saya ingat dari Piek misalnya tidurlah berlepaslelah/… esok masih ada kerja untuk nusa bangsa; ini menjelaskan ada pesimisme yang ditolaknya. Dan Toto ST Radik juga: tidurlah kembali…/dunia sedang sibuk menyiapkan pemilu serentak (“Tidurlah, Dunia Sedang Sibuk).

Jadi, begitulah membaca puisi, membuat saya dapat bahagia bertemu sejarah para penyair dalam membicarakan negeri ini.

Isyarat menjadi bahagia dalam derita itu sebenarnya juga sudah dibicarakan Toto Sudarto Bachtiar mengingat ia adalah penyair yang berusaha memahami esensi derita dan esensi suka: /…makin tahu gairah pedih…/makin tahu kebesaran suka.

Dan rupanya saya termasuk pembaca yang macam digambarkan Toto Sudarto Bachtiar yang kalau ia memandang keduanya saling meruntuhkan, saya sendiri dapat memisah-misahkannya, karena sebagai pembaca saya adalah tukang menjalin pengalaman belaka sehingga tidak tertawan bobot pesimisme Toto ST Radik menanya negara itu apa, dan bagi saya “sejarah mengatakan negeri” inilah yang membuat saya bahagia memiliki negeri.

Andai saja saya tidak pernah membaca puisi-puisi, mungkin saya malah tidak dapat memilah derita dan bahagianya karena bahagia dan derita mesti ada latarnya, ya, negeri saya sendiri dalam konstruk dualistik macam itu. Tanpa negeri yang tidak kita kenali, kita pun tidak akan merasakan bahagia, bahkan derita. Kita hanya akan menjadi mumi yang berjalan. Kirdjomuljo menyadari dari dulu sebagaimana saya kutip di paling awal tulisan ini.

Karena itu, saya kira Toto ST Radik pun menemukan kebahagiaan-kebahagiaan karena ia sanggup menemukan kebusukan-kebusukan. Kebahagiaan yang dimaksud bukan kebahagiaan melihat kebusukannya, tetapi kebahagiaan menyadarinya: aih, memang kita tidak bahagia dalam puisi “Literasi Negara” adalah contoh paling esktrem untuk bahagia-menyadari.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Gong Publishing Store

Penuhi Nutrisi untuk Hati dan Pikiranmu dengan Buku-buku dari Kami

Buku Terbaru

Buku Terlaris

Kamu Mau Nerbitin Buku Impianmu? Tapi Bingung Kemana?

Yuk di Gong Publishing Aja!

Keranjang Belanja